Ruang Kosong


Ruang Kosong

Ruang itu kosong. Sepi tanpa penghuni. Sedang ketuk-ketukan pintu itu telah menggema berkali-kali. Sayangnya, aku tak juga bersedia membukanya, sekedar bertukar sapa atau persilahkan sejenak duduk di halaman.

Kosong itu begitu aku nikmati. Sengaja aku biarkan percuma tanpa ada penghuninya. Sebenarnya jiwaku meronta, inginkan seseorang datang untuk aku persilahkan. Namun aku terlanjur dalam beku, dalam ketakutan. Tentang kedatangan yang hanya akan ciptakan kepulangan setelahnya, tentang kebersamaan yang hanya akan lahirkan perpisahan, juga tentang harapan yang kelak akan dijatuhkan.

Sepi ini benar-benar aku nikmati. Sedang mereka yang ingin sekali menemani, hanya aku biarkan berdiri menanti senyumku di balik pintu. Sebagian dari mereka ada yang bertahan, tetap setia menunggu di depan pintu. Namun sebagian lagi, mereka yang lelah menunggu memilih pergi tidak lagi mengetuk pintu. Mereka bosan dengan keterdiaman yang aku ciptakan.

Mengapa ruang itu masih kosong? Tidak bisakah ruang itu aku biarkan berpenghuni? Tidak bisakah aku berbaik hati, persilahkan masuk satu saja dari mereka yang telah mengetuk pintu berkali-kali?

Bagaimana bisa aku persilahkan mereka masuk jika rasa percaya itu telah tiada? Aku telah mati rasa, hatiku pun biarlah kosong. Luka itu terlalu lebar menganga. Aku belum bisa pulihkan seperti semula. Jadi, biarlah aku tetap berkawan hampa. Biarlah ruangku kosong tanpa siapapun. Dan biarlah mereka yang datang, perlahan pergi tinggalkan aku tanpa kembali mengetuk pintu lagi.

Orang bilang luka hati itu butuh seseorang untuk menyembuhkan, dengan cinta dan kasih yang kelak dia tumbuhkan untukku dengan penuh ketulusan. Tetapi bagiku luka ini hanya bisa terobati olehmu. Hanya kamu...

Aku menjawab sebagai perempuan keras kepala bukan? Entah sampai kapan...

Komentar